hanya orang berani dan ga takut sama tantangan yang boleh masuk..jangan ngaku pernah sekolah kalau takut jadi aktivis..!// only the brave and not scared of the bureaucratic foul that allowed in. .. do not be admitted to school if so activists fear ..!
Jumat, 03 Juni 2011
5 Fakta Kebohongan Polri dalam RDP Komisi III DPR
November 6, 2009
tags: anggota dewan, Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, indonesia, kapolri, masaro, Susno Duadji
oleh nusantaraku
Pasca siaran langsung Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan jajaran petinggi Kepolisian RI, sebagian masyarakat mempercayai penuh keterangan Kapolri beserta jajarannya. Mereka percaya pada pernyataan Kapolri bingung dengan pernyataan versi Bibit dan Chandra. Mereka melihat dua sisi yang sangat kontras pasca 3 hari sebelumnya (3 Nov 2009) tercengang menyaksikan/mendengarkan pemutaran rekaman isi rekaman penyadapan KPK oleh Mahkamah Konstitusi. Rekaman percakapan antara Anggodo dengan sejumlah petinggi penegak hukum membuat rakyat malu sekaligus marah atas dagelan penegakan hukum yang bisa dengan mudah dibeli dengan uang.
Oleh : ech-wan, nusantaraku (6 November 2009)
Fakta-Fakta Keganjilan RDP Komisi III DPR & Polri tentang KPK
Pasca siaran langsung RPD Komisi III DPR dengan Polri, banyak orang mempercayai sepenuhnya pernyataan Kapolri beserta jajarannya. Dalam kesempatan ini, saya mengajak masyarakat kritis terhadap suatu pernyataan lalu dibandingkan dengan fakta-fakta maupun pernyataan pembanding lain. Dalam tulisan ini, saya akan membandingkan pernyataan kapolri pada RPD kemarin dengan pernyataan polri sebelumnya atau dari fakta-fakta hukum lainnya.
1. Kapolri Jend Bambang Hendarso Danuri (BHD) tidak konsisten
Diawal-awal penjelasannya, Kapolri dengan begitu yakin mengatakan pimpinan KPK melakukan kesalahan tidak menetapkan Putranefo sebagai tersangka. BHD mempertanyakan mengapa penyidik KPK tidak menjadikan Putranefo sebagai tersangka dan mencekalnya bersama Anggoro pada Agustus 2008. Dengan begitu yakin, Kapolri BHD mengatakan bahwa setelah sekian lama, kasus ini baru dilanjutkan lagi oleh KPK pada September 2009.
“Mengapa Putranefo tidak dicekal pada saat itu (Agustus 2008, red) dan baru dijadikan tersangka dan dicekal pada September 2009″.
“Mengapa begitu lama kasus ini tidak dilanjutkan dan mengapa Putranefo baru dicekal pada September 2009″
Pernyataan Kapolri BHD diawal RPD Komisi III DPR, 5 Nov 2009 (Detiknews)
Fakta:
Sejam lebih Kapolri memberi keterangan tidak benar alias bohong dan membuat masyarakat mendapat informasi tidak benar. Pernyataan yang begitu meyakinkankan itu akhirnya diralat kembali setelah mendapat bisikan Wakapolri Komjen Makbul Padmanegara di tengah-tengah Kapolri menjawab sejumlah pertanyaan DPR.
“Kami klarifikasi pencekalan Putronefo 22 Agustus 2008, (bukan baru September 2009 seperti saya tuduhkan sebelumnya, red)” ujar Kapolri BHD, 5 Nov 2009 (detiknews)
Fakta kedua bahwa pernyataan Kapolri telah menisbikan Surat cegah KPK R-3164/01/VIII/2008 yang dikirim ke Dirjen Imigrasi Depkum HAM tanggal 22 Agustus 2008 yang mencegah Anggoro Widjaja bersama 3 pimpinan PT Masaro yang lain yakni Direktur Ir Putronefo A Prayugo, Preskom Anggono Widjojo, dan Direktur Keuangan David Angkawijaya. (Antara)
Selama lebih sejam, Kapolri telah menyampaikan pernyataan yang tidak benar, sebelum mendapat pertanyaan dari anggota DPR!
2. Eks KaBareskrim Polri Susno Duadji (SD) tidak konsisten
Pada Rapat Kerja Komisi III DPR-Kapolri, SD membantah menerima uang sebesar Rp 10 miliar. SD juga mengatakan dia sudah mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak dua kali untuk diperiksa terkait dugaan penerimaan uang itu. (Detiknews dan yahoonews)
Fakta:
Sejak kapan SD datang ke KPK untuk diperiksa? SD pernah dua kali ke KPK atas inisiatif sendiri, bukan atas permintaan KPK untuk memeriksa dirinya. Jels SD telah mengeluarkan pernyataan tidak benar. Pertama kali SD menyambangi KPK pada 15 Juli 2009 hanya untuk klarifikasi sekaligus Susno didepan seluruh pimpinan KPK mengatakan tidak ada suap di tubuh KPK (Kompas).
Sedangkan kunjungan kedua dilakukan dalam rangka memperkuat kembali hubungan antara polisi dan KPK pada 2 Oktober 2009 (Kompas). Inkonsistensi pernyataan ini begitu jelas, begitu juga SD yang menemui Anggoro, tersangka buronan KPK di Singapura. Pantaskah pernyataan inkonsistensi ini disebut sebagai fakta kebenaran?
3. Kapolri BHD Kembali Mengemukan Aliran Uang dari Anggodo
Seperti pernyataan Kapolri sebelumnya bahwa Anggodo telah menyerahkan uang sebanyak Rp5,15 miliar kepada Ari Muladi yang diberikan dalam tiga tahap agar pencekalan terhadap Anggoro Widjojo Cs dicabut oleh KPK. Yakni, pertama di Hotel Peninsula pada 11 Agustus sebesar Rp3,75 miliar, Rp400 juta pada 13 November, dan Rp1 miliar pada 13 Februari. Dari Ari Muliadi, uang tersebut lalu diserahkan kepada salah satu pimpinan KPK (merujuk Bibit SR) di Hotel Bellagio Residence (JPNN). Pada RPD Komisi III DPR, Kapolri BHD merinci dana tersebut bahwa DS menerima Rp 1,5 miliar di Bellagio, Jakarta, Mr X yang menerima Rp 250 juta, CH menerima Rp 1 miliar, dan seorang penyidik Rp 400 juta di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. (kompas)
Fakta :
* Tuduhan sebelumnya yang merujuk pada Bibit tidak tepat sasarannya. Karena selama periode 11-18 Agustus, Bibit dia justru berada di Peru atas undangan Pemerintahan Peru. (JPNN)
* Tuduhan dugaan pimpinan KPK menerima aliran dana dari Anggodo via Ari Muladi semakin jauh dari realitas setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan tidak menemukan aliran dana dari pengacara Direktur PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo kepada pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. (Media Indonesia dan Detiknews)
Kepala PPATK mengatakan bahwa aliran dana terlacak dari Anggoro ke adiknya Anggodo Wijaya kemudian berhenti sampai ke Ary Muladi saja. Berdasarkan laporan PPATK tersebut, dana tidak mengalir pada pimpinan KPK. Dana mungkin saja mengalir
4. Kapolri BHD Kembali Mempertanyakan Prosedural KPK.
Kapolri BHD masih mempertanyakan dua penerbitan dan pencabutan cekal, yakni atas nama Anggoro dan surat cekal Joko Chandra yang dilakukan hanya dilakukan oleh dua pimpinan KPK (Bibit SR dan Chandra MH). Sementara Kapolri masih berpendirian bahwa mekanisme yang berlaku di KPK adalah keputusan bersifat kolektif. (Republika)
Fakta:
SOP yang berlaku di KPK memang memperbolehkan surat keputusan ditanda-tangani oleh satu, beberapa atau seluruh pimpinan KPK. Hal ini telah terjadi para era KPK 2003-2007. Bila sebuah putusan dari sekian ratusan keputusan harus ditandatangani oleh seluruh pimpinan, maka hal ini akan memperlambat kinerja KPK, karena tidak semua pimpinan KPK selalu berada di kantor KPK. Hal ini pun diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK 2003-2007, Erry Riyana Hardjapamekas, meminta kepada polisi agar dirinya ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan karena pernah melakukan keputusan tidak kolektif. (kompas).
Jika Polri masih mempermasalahkan penerbitan/pencabutan cekal karena diterbitkan tanpa keputusan kolektif, maka Polri telah diskriminatif karena tidak menahan mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana H! Jika Polri masih mempermasalahkan wewenang penerbitan cekal tersebut, maka adalah fair dan adil jika Polri pada saat sama menangani kasus pelanggaran pidana dana kampanye, anggaran lumpur lapindo, dan aliran dana non-budgeter DKP tahun 2004. Jika tidak melakukan usaha seperti itu, apakah benar Polri telah bekerja profesional? Atau sebaliknya?
5. Kapolri BHD Mendukung Bahwa Anggoro Widjaya Tidak Layak Dicekal dan Jadi Tersangka
Kapolri BHD mendukung Anggoro dengan mengatakan bahwa Anggoro Widjaja tidak terlibat dalam kasus apapun. BHD beralibi bahwa Anggoro hanyalah menjabat sebagai Komisaris PT Masaro, sehingga tidak layak dicekal.
Fakta:
Penetapan Anggoro Widjaja sebagai tersangka oleh KPK setelah ada putusan hukum tetap pada Yusuf Erwin Faishal. Faisal divonis atas dakwaan menerima suap Rp 775 juta atas kasus pengalihan hutan lindung Tanjung Api-Api dan dalam periode yang sama terlibat dalam suap Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Yusuf menerima uang sebesar Rp 125 juta dan 220 ribu Dolar Singapura dari rekanan yakni PT Masaro Radiokom yang diwakili Anggoro Wijaya dan David Angka Wijaya.
Berdasarkan penyelidikan dan penyidikan KPK, maka unsur-unsur pelaku (kontrakor PT Masaro), bukti (rekaman, pengakuan penerima, uang), korban (proyek negara), dan laporan (orang yang disuap, masyarakat atau korban). Namun selama ini, Kapolri maupun Kabareskrim beserta jajarannya selalu menutupi fakta hukum ini. Mereka berusaha mengiring opini bahwa KPK telah melakukan tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan menetapkan tersangka.(kompas)
Kondiserasi-Kondiserasi
Dalam tulisan “Fakta-Fakta Kemunafikan Polri dalam Mengasuskan Bibit dan Chandra” saya menyatakan bahwa bila pasal 21 Ayat (5) UU 30 Tahun 2002 tentang KPK harus dijalankan dalam semua aspek, maka Bibit dan Chandra salah mematuhi isi UU tersebut. Selain mereka berdua, para pimpinan KPK 2003-2007 juga melakukan hal yang serupa, sehingga mantan Wakil Ketua KPK 2003-2007, Erry Riyana Hardjapamekas, meminta kepada polisi agar dirinya ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan (kompas).
Ada beberapa konsiderasi/pertimbangan mengapa saya lebih mendukung perjuangan KPK dibanding Kepolisian dan Kejaksaan yakni :
* Perbandingan Hasil Audit BPK atas Laporan Keuangan 2008
Berdasarkan audit BPK per April 2009 atas laporan KPK (530 kB), Kepolisan RI (1.2 MB), Kejaksaan Agung RI (1.1 MB), maka laporan Keuangan KPK berada diurutan terbaik (opini Wajar Tanpa Pengeculiaan atau WTP), sedangkan dua instansi lain yakni Kepolisian dan Kejaksaan berada jauh dari harapan yakni mendapat opini “Tidak Menyatakan Pendapat” (TMP).
TMP dari hasil audit BPK tahun 2009 ini menunjukkan bahwa Kejaksaan dan Polri dalam menjalankan tugasnya (menggunakan anggaran APBN) tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan, lemahnya Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam penyusunan laporan keuangan, pengelolaan aset, persediaan,barang bukti dan penerimaan hibah serta adanya pembatasan lingkup pemeriksaan. Hal-hal tersebut menyebabkan laporan keuangan Kejaksaan dan Polri jauh dari kewajaran laporan.
* Fakta laporan TII (2008, 2009) dan Amnesti Internasional (2009) yang masing-masing menyatakan Polri merupakan lembaga publik terkorup 2008 dan terus melanggar HAM dalam menjalankan tugasnya serta Kejaksaan sebagai lembaga publik terkorup nomor 2 pada tahun 2009.
Meski saya lebih cenderung mendukung KPK, bukan pula saya mendukung mati-matian, karena pada faktanya KPK selama berdiri sampai saat ini masih tampak melakukan tebang pilih. Sebut saja kasus aliran dana non-budgeter DKP tahun 2004 yang terhenti sampai pada mantan Menteri DKP Rokhmin Dahuri. Apalagi sampai saat ini, KPK masih belum berhasil mengusut tuntas kerugian negara dalam kasus BLBI (Kronologi BLBI dan 4X Indonesia Dirampok!).
Dukungan saya kepada KPK, bukan berarti saya tidak mendukung Kepolisian. Secara institusi, saya tetap agar Polri maupun Kejaksaan tetap melakukan reformasi birokrasi dan pembenahan sumber daya. Karena bagaimanapun, lembaga Kepolisian dan Kejaksaan merupakan pilar penting dalam negara kesatuaran Republik Indonesia. Yang harus kita lawan bukan kepolisan, namun aparat kepolisian (termasuk petinggi) yang arogan, yang berusaha mengkriminalkan orang lain dengan dalil-dalil yang berubah secepat kilat. Kepolisian yang arogan seolah menegakkan kebenaran, namun disisi lain berusaha menutup mata atas kasus-kasus besar (dengan men-SP3 kasus).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar